Tulisan Kang Roisun dan Team
Dalam pengajian Malam Jum’at
Kliwon, Sufi tua menemukan seorang penyusup di antara jama’ah pengajian. Usai
pengajian, penyusup itu digiring ke teras mushola, diajak bergabung diskusi
dengan Sufi Kenthir, Sufi Sudrun, Sufi Gelandangan, Sufi Gemblung, dan Dullah
yang lagi membincang NII dan teroris. Penyusup itu bingung mengikuti alur
pembicaraan para sufi yang ternyata sangat faham dengan dunia intelijen,
termasuk skenario-2 intelijen tingkat tinggi yang tak sembarang orang
mengetahuinya. Bahkan penyusup itu pucat wajahnya saat mengetahui bahwa Sufi tua
sejatinya adalah seorang tokoh senior yang terkenal di dunia intelijen yang
sudah pensiun satu dasawarsa silam.
Waspada NII !!! Musuh kita
bersama !!
Faham bahwa sang penyusup sudah
mati kutu, Sufi tua dengan sikap seorang senior kepada yuniornya menanyakan
latar bagaimana sang penyusup itu masuk ke pesulukan, pesantren sufi, yang sama
sekali tidak memiliki afiliasi dengan kelompok-2 garis keras yang selama ini
meresahkan masyarakat. Sang penyusup dengan polos menyatakan, bahwa pesantren
memang menjadi salah satu institusi yang dicurigai berpotensi menjadi center
power bagi munculnya gerakan-gerakan ekstrim-radikal yang membahayakan negara
dan masyarakat. “Fakta menunjuk bahwa gerakan-2 ekstrim-radikal yang
melancarkan teror selalu berhubungan dengan Pesantren Ngeruki Hati di Surakerta
pimpinan Kyai Haji Abu Ba’afkir,” kata si penyusup menjelaskan.
“Saudara ini ada saja, esantren
kok ngeruki hati. Hatinya siapa yang dikeruk? Tapi, logika yang sampeyan pakai
ltu logika sesat. Logika sesat kok
dipakai pijakan berpikir,” sahut Sufi tua geleng-geleng kepala, ”Kalau
logika sesat itu diteruskan, deviasi penyimpangannya akan semakin lebar.”
“Mohon petunjuk, bapak,” kata si
penyusup ingin tahu.
“Kalau di sebuah kota
ada seorang warga kota melakukan kejahatan mencuri,
apakah patut dicurigai bahwa setiap rumah di kota potensial berisi maling?” Sufi tua
bertanya balik.
“Tentu tidak, bapak,” kata si
penyusup tegas.
“Lalu, term-term logika apa yang
digunakan ketika menyama-ratakan pesantren yang ada di Nusantara dengan satu
pesantren aneh bin ajaib yang tumbuh dan berkembang sangat ajaib, yaitu
Pesantren Ngeruki Hati, yang justru berbeda dalam segala hal dengan
pesantren-pesantren yang ada di bumi Nusantara?” tanya Sufi tua dengan suara
ditekan tinggi.
“Saya tidak tahu, bapak. Apakah
beda pesantrennya Kyayi Abu dengan pesantren-pesantren lain?”
“Justru akibat ketidak-tahuan
perbedaan pesantren aneh bin ajaibnya orang Arab badui itu dengan
pesantren-pesantren yang ada di Nusantara itulah yang aku katakan bahwa tugasmu mengawasi dan
memantau pesantren-pesantren itu didasari logika sesat. Kalau menggunakan teori
ilmu logika, cara pikir semacam itu disebut fallacy of illicit process dan
argumen yang digunakan disebut Argumentum ad ignorantiam. Sebab tanpa didukung
pengetahuan yang utuh tentang term pesantren Nusantara, secara coersif sudah
diambil sebuah konklusi tentang pesantren dengan term pesantren gurun pasir
yang sama sekali lain dan tidak memiliki ciri-ciri yang khas Nusantara.
Bagaimana seekor tikus gurun disamakan dengan kawanan kucing Angora?”
kata Sufi tua memaparkan alasan.
“Mohon petunjuk, bapak, apa beda
pesantren Ngeruki Hati dengan pesantren-pesantren di Nusantara?” tanya si
penyusup sangat ingin tahu.
Sufi tua diam. Sejenak setelah
itu, ia berbisik kepada Sufi Sudrun. Dan setelah mengangguk, Sufi Sudrun mulai
berkata menjelaskan,“Ketahuilah saudara, bahwa pesantren-pesantren Nusantara
adalah lembaga pendidikan yang berkembang dari lembaga pendidikan Hindu-buddha
yang disebut Dukuh, tempat para wiku (calon pendeta) belajar. Salah satu
kegiatan para wiku sebagai siswa di Dukuh adalah mempelajari sashtra (kitab
suci). Orang-orang yang mempelajari sashtra (kitab suci) disebut sashtri (yang
mempelajari sashtra -kitab suci). Nah, saat ajaran Islam butuh dikembangkan
lewat pendidikan, para penyebar Islam berinisiatif untuk mengambil alih model
Dukuh Hindu-buddha. Tetapi karena para siswa muslim bukan pendeta, maka mereka
tidak disebut wiku melainkan disebut sashtri (orang yang mempelajari
sashtra-kitab suci). Demikianlah, kata Sansekerta Sashtri dilafalkan dalam
lidah muslim Jawa menjadi Santri. Itulah latar sejarah mengapa lembaga
pendidikan Islam tradisional disebut pesantren, yang bermakna tempat para
santri (pe-santri-an).”
“Waduh bapak, sungguh saya tidak
tahu-menahu soal itu,” kata si penyusup mengangguk-anggukkan kepala dan
mendecakkan mulut.
“Nah, dengan penjelasanku ini,”
kata Sufi Sudrun,” Masuk akalkah menurut saudara, jika ada orang-orang Arab
Badui berfaham Wahabi yang anti bid’ah, anti khurafat, anti dengan berbagai
unsur jahiliyyah dari agama selain Islam, tiba-tiba mendirikan lembaga pendidikan
pesantren? Bagaimana aneh bin ajaibnya ini, ada orang berfaham Wahabi tiba-tiba
mengembangkan lembaga pendidikan dengan memungut sisa-sisa Hindu-buddha yang mereka anggap
lembaga sisa jahiliyyah?”
”Tapi pimpinan pesantrennya
memakai gelar Kyayi, bagaimana itu bapak?” tanya si penyusup.
“Itu juga mustahil bin mustahal,”
tukas Sufi Sudrun menjelaskan,”Soalnya, gelar Kyayi adalah gelar kebangsawanan
pra Majapahit yang setara dengan gusti. Hanya kalangan brahmana-ksatria, yang
berhak menggunakan gelar Kyayi. Asal saudara tahu, keturunan Arya Damar Adipati
Palembang di Bali – dari puteranya yang bernama Arya Jasan – lahir raja-raja
Tabanan bergelar kyayi seperti Kyayi Arya Ngurah Sari, Kyayi Arya Celuk, Kyayi
Agung made Tabanan, dsb. Para raja itu beragama Hindu”
“Oo begitu ya bapak..?”
“Ini kan aneh, ada orang Arab Badui berfaham
Wahabi tahu-tahu memakai gelar kebangsawanan Majapahit, Kyayi, yang jelas-jelas
gelar itu mereka anggap sebagai simbol jahiliyyah dari masa kerajaan kafir
Majapahit. Ini benar-benar mustahil bin mustahal,” kata Sufi Sudrun ketawa.
“Jadi simpulan dari penjelasan
bapak itu bagaimana?” tanya si penyusuf minta penegasan.
“Menurut hematku, itu pesantren
palsu dan gelar kyayi-nya juga palsu, karena sepanjang sejarah tidak pernah ada
pesantren berfaham Wahabi. Sepanjang sejarah, Wahabi juga menganggap haram
mengambil alih anasir-anasir Hindu-buddha. Bahkan setahuku, belum ada juga
orang Arab badui memakai gelar kebangsawanan Jawa kuno Kyayi. Dari mana nalar
lojik semua itu?” kata Sufi Sudrun.
“Maaf bapak,” kata si penyusup
kepada Sufi tua,”Kira-kira kordinat pesantren Wan Abu itu ke mana ya?” tanyanya
tidak lagi menyebut gelar kyai di depan nama Abu Ba’afkir.
“Kalau hubungannya dengan Osama
bin Ladn,” kata Sufi tua singkat,”Aku pikir semua intelijen sedunia sudah
mafhum, ke mana koordinat Wan Abu itu.”
Dullah yang sejak tadi menyimak
tiba-tiba bertanya,”Mohon tanya mbah.”
“Soal apa?” gumam Sufi tua.
“Apakah Wan Abud kordinatnya
nyambung dengan gerakan NII?” tanya
Dullah.
“Kalau NII itu lain lagi
kordinatnya,” kata Sufi tua seperti menahan geli.
“Kira-kira NII itu ke mana
jalurnya?” tanya Dullah penasaran.
“Itu kerjaan jaringan intelijen
lokal, kelanjutan dari OPSUS dulu, jamannya Orde Baru eranya Ali Murtopo dan
L.B.Murdani,” kata Sufi tua mengingat-ingat.
“Woo begitu yaa…” sahut Dullah
melenggong.
“Iya, itu angkatannya Panji
Cemerlang, arek Sedayu, Gresik yang dibikinkan pesantren As-Syaithon di
Dermayu. Panji itu seangkatan dengan Supirto, mantan menteri yang bikin Partai
Kesejahteraan Sosial. Jaringan-jaringan bekas OPSUS itu, masih eksis dan operasional,
mengiringi perjalanan sejarah bangsa kita,” kata Sufi tua.
.-faith acccomply “Berarti mereka
itu tidak bahaya kan,
bapak?” tukas si penyusup mem
demi keamanan dan keselamatan
aset-aset kapitalisme global.”rust en orde berkuasa untuk menegakkan ruling
class – yang dikendalikan kapitalisme global. Sebab dalam open society tak lagi
dibutuhkan demokrasi, tetapi butuh open society Sufi tua ketawa, lalu
berkata,”Ya untuk negara tidak berbahaya. Tapi untuk rakyat, masih harus dikaji
ulang, terutama jika dikaitkan dengan geopolitik perubahan tatanan global –
“Hwaduuuh,jadi semua itu kayaknya
palsu.” sahut Dullah garuk-garuk kepala,”Ini kayaknya ada hubungannya dengan
RUU Intelijen yang harus disahkan jadi UU, mbah, karena sekarang ini negara
dikesankan sudah dalam keadaan “siaga” dan bahkan mungkin sebentar lagi “awas”.
Sufi tua dan Sufi Sudrun ketawa.
Si penyusup tersenyum kecut.